Sasuke's Mangekyō Sharingan agung al muazzaroh: Maret 2011

Kamis, 17 Maret 2011

Ingat Mati Tapi Lupa Diri


Dalam sebuah hadist Qudsi yang cukup panjang, menggelitik hati kita. Alangkah baiknya jika kita simak:
Aku (Allah) heran terhadap orang yang yakin akan datangnya kematian tetapi ia masih membanggakan diri ?
Aku heran terhadap orang yang yakin dengan hari perhitungan (hisab), kenapa ia masih sibuk menimbun harta benda?
Aku heran terhadap orang yang yakin akan masuk pintu kubur, kenapa mereka masih tertawa terbahak bahak?
Aku heran terhadap orang yang yakin terhadap hari akhirat, kenapa mereka masih bersenang senang dan lalai tidak beramal?

Aku heran terhadap orang yang yakin akan lenyapnya dunia ini, kenapa dia masih menambatkan hati kepadanya?
Aku heran terhadap orang alim yang pintar bicara tetapi bodoh dalam paham pengertian.
Aku heran terhadap orang yang sibuk menyelidiki aib orang lain, tetapi lupa cacat/cela dirinya sendiri.
Aku heran terhadap orang yang tahu bahwa Allah memperhatikan tingkah lakunya, mengapa ia masih durhaka kepada Allah?
Aku heran terhadap orang yang mengerti bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kubur sendirian, kenapa ia masih asyik bersenda gurau dengan orang banyak?
Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Muhammad itu benar benar hamba Ku dan rasulKu
Diakui atau tidak, banyak orang yang tidak sempat mengadakan perenungan. Dengan kesibukan yang padat, rasanya sulit mencari waktu yang tepat untuk berpikir mendalam. Hari hari hanya diisi dengan kerja dan kerja. Seakan semua waktu dalam hidup ini habis sekadar untuk mencari nafkah. Kesibukan seperti ini sudah menjadi ciri atau malah menjadi bagian dari kehidupan modern.
Malam hari yang semestinya waktu paling cocok untuk melakukan perenungan ternyata juga tersita untuk sekedar urusan dunia. Malam, utamanya dikota kota besar tidak lagi ada bedanya dengan siang, Tetap ramai, tetap sibuk. Lampu lampu kota kini telah menjadi ‘pengganti’ matahari. Malam pun tetap terang benderang, Itulah sebabnya kemudian bermunculan manusia ‘kelelawar’ yang jadwal hidupnya justru terbalik, Di siang hari mereka tidur, malam hari mulai menampakkan tanda tanda kehidupannya bekerja. Tentu saja hal ini menyalahi sunnah, menyelisih fitrah.
Firman Allah,”Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (QS Al Furdan 47 ).
Karena manusia sudah merasa tidak lagi cukup waktunya untuk mencari kehidupan di siang hari saja, maka malam harinya mereka gunakan juga untuk bekerja. Akibatnya jam istirahat berkurang. Apalagi jam untuk tafakkur, mengadakan perenungan, muhasabah (menghitung diri), muroqobah (mendekatkan diri pada Allah), hampir tiada lagi sama sekali. Jangankan shalat malam, sedang shalat Isya saja dikerjakan sambil ngantuk, pikirannya masih tertuju pada lain yang sifatnya keduniaan. Apalagi disaat shalat, TV tidak dimatikan, sebab anak istri sedang menonton, Bagaimana bisa khusyu’ sedang ingat bacaannya sudah kesulitan. Terlebih kini semakin banyak saja acara yang menarik, yang melalaikan manusia dari memikirkan arti hidupnya sendiri. Semestinya sebelum pergi tidur diluangkan waktu sejenak untuk berzikir. Kalau bisa, shalat dua rakaat. Kalau masih bisa, baca Al Qur’an minimal tiga surat terakhir atau tiga Qul, yaitu Qul Huwallahu ahad, Qul a’udzubirabbil falaq, dan Qul a’udzu birabbinnas, lalu ditutup dengan do’a tidur. Tapi alangkah banyaknya orang yang pergi tidur tanpa sengaja. Sambil menonton TV keterusan. Lupa berzikir, lupa shalat, lupa berdo’a ataupun mengadakan perenungan. Malah mengatur posisi tidurnya saja tidak sempat untuk bangun tengah malam apalagi.
Kurangnya mengadakan perenungan berakibat sangat fatal, Manusia tak lagi mengerti untuk apa mereka bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk mencari harta. Setelah harta didapat digunakan sekenanya. Tidak ada waktu lagi untuk berfikir, darimana harta didapat.
Tidak ada kesempatan untuk merenung, apakah yang lain juga mendapat, Tak juga sempat menilai, halal atau haram pendapatannya dan sebaliknya digunakan untuk apa saja itu semua. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran, pokoknya saya dapat. Mestinya berfikir, darimana didapat, dan kemana dibelanjakan. Orang yang sudah pada taraf seperti ini hidupnya hanyalah sekedar untuk memenuhi hidup. Mereka bekerja, berjuang, berkorban, berdamai dan berperang, hanya untuk hidup, bahkan mereka mempertaruhkan hidupnya sekedar untuk hidup.
Mereka ini disindir Allah dalam firman Nya ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dimanfaatkan untuk melihat tanda tanda kebesaran Allah, mereka mempunyai telinga, tapi tidak dipakai untuk mendengar ayat ayat Allah. Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, Mereka itulah orang orang yang lalai,” (QS Al A’raaf: 179 ).
Telinga mereka berlubang dan bisa mendengar, tapi tidak mau mendengarkan nasehat, anjuran, perintah dan larangan Dzat yang menciptakan telinga. Inilah yang disebut telinga pasif oleh Allah. Bukan berarti telinga ini tak aktif terhadap yang lain. Begitu musik disetel, nyanyian diperdengarkan, fitnah digunjingkan, telinga itu menjadi normal kembali, Mata mereka juga melek, tapi untuk membaca kalimat Allah mata itu menjadi rabun, malah buta sama sekali, Berbeda bila melihat lenggak lenggok artis, baik di pentas terbuka maupun di layar televisi, mata itu tiba tiba jernih, sejernih kaca TV. Mereka juga punya hati, tapi sekedar gumpalan daging yang terbalut rongga dada, Hati yang
berupa qolb tak lagi mereka punyai, paling tidak sudah lama tak terpakai. Usang, sulit dicari. Jika harus diaktifkan, masih perlu dibersihkan, diservis, bahkan mungkin dibongkar pasang dulu.
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” kata Allah dalam surah Al –israa’ 36.
Sebelum hari pertanggungjawaban itu, sebaiknya kita memanfaatkanya untuk merenung, adakah ketiga tiganya sudah berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh Yang Menciptakan? Atau kita masih beralasan, belum ada waktu untuk merenungkan?
Hadist Qudsi di atas adalah ajakan kepada kita untuk merenungkan sejenak arti hidup kita di dunia ini. Jelas sekali bahwa Allah tidak heran kepada manusia, sebab Dia sendiri yang menciptakan, Redaksi hadist ini dibuat sedemikian rupa, agar lebih komunikatif, agar mudah dicerna dan difahami. Lebih penting lagi, agar mudah menyentuh hati. Soal sentuh menyentuh hati ini bukan perkara sederhana, apalagi untuk ukuran sekarang ini. Bukan Mayat Berjalan orang hidup yang lupa mempersiapkan untuk hari esok, disindir oleh Nabi Muhammad Saw seperti mayat hidup yang sedang berjalan. Artinya, fisiknya hidup, tetapi hatinya telah mati.
Orang yang hatinya mati, bisa kita lihat dari berbagai tanda, Misalnya, mereka tidak peduli ada peringatan Allah atau tidak, Mereka tenang saja melenggang bahkan berjalan dengan sombong di muka bumi. Seolah dia akan bisa hidup selamanya, Orang yang hatinya mati, sering kali tidak bergetar mendengar nama Allah disebut, dan tidak bergeming meski dibacakan ayat ayat Allah. Baginya semua itu seperti tidak ada kaitan sama sekali dengan masa depan, yaitu masa depan yang begitu abadi. Orang yang hatinya mati, tidak pernah merasa bersalah meski tiap hari melanggar aturan Allah. Dia mengira tak ada orang lain yang tahu, dan dikiranya Allah tidak melihatnya. Jika berbuat maksiat, ukurannya hanya dirinya dan orang lain. Sepanjang dirinya suka, dan orang lain tidak melihatnya, dengan serta merta melakukannya. Dan masih banyak lagi tanda tanda orang yang hatinya telah mati. Maka kita hendaknya selalu ingat bahwa diri kita ini bukan mayat sedang berjalan, kita ini memang benar benar hidup sehingga harus mengisi lintasan kehidupan ini dengan penuh perhitungan matang. Kita dengan sadar melangkahkan kaki ke tujuan yang baik, Dengan sadar mengayunkan tangan ke arah yang benar. Kita buka tutup lisan kita dengan kalimat yang baik, benar, dan menyenangkan.
Orang yang jiwanya hidup, perilakunya terkontrol. Hidupnya dinamis, dan dia mempunyai standar dalam mengukur dirinya, Jika merasa salah, maka segera minta ampun, dan jika dirasakan benar, tidak menyombongkan diri. Tidak ada kata terlambat untuk mengubah arah jarum jam kehidupan ini, Kalau selama ini dirasakan arahnya salah, maka segera putar dengan penuh kesadaran ke arah yang benar. Niat dan tekad mendalam untuk menjadi manusia baik hendaknya selalu ditumbuhkan setiap kali bangun tidur. Dan meminta ampun dari segala salah dan khilaf disaat akan tidur. Bisakah?

Marah

Kemarahan seseorang bisa menjadi akibat buruk baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain yang ada disekitarnya. Orang yang lagi marah biasanya hatinya tidak terkontrol, tentunya apa yang diucapkan ataupun yang dilakukan tentunya akan jauh dari kebenaran, meskipun dia marah karena membela sesuatu yang benar. Allah lebih menyukai orang yang sabar daripada orang yang mengumbar amarah.jangan_marah
Ada statement yang menyatakan bahwa orang yang tanpa emosi adalah orang yang kurang bisa care dengan lingkungan, maka marah itu perlu katanya sebagai pelepas emosi yang memuncak. Ups, sebentar dulu, hendaknya dibedakan antara marah dan emosi. Marah itu lebih mencerminkan ledakan jiwa seseorang yang terlontar begitu saja, sifatnya sesaat biasanya, terkadang disertai tindakan anggota tubuh berupa gerakan tangan misalnya tamparan, meninju atau menggablok; juga dengan kaki misalnya tendanga; tentunya semua gerakan anggota tubuh itu adalah gerakan tak terarah dan cenderung membabi buta. Sedangkan emosi lebih cenderung mengedepankan pikiran negatif dari suatu peristiwa yang dia hadapi. Pada kondisi emosi seseorang memuncak, hatinya tertutup oleh kenyataan akan makna dibalik peristiwa yang menimpa dirinya. Emosi lebih mengarah kedewasaan seseorang ketika dia mampu mengendalikannya.
Kemarahan seseorang tentunya harus diredakan dengan pengendalian diri, dengan bersikap logowo menerima  perbedaan dari setiap orang yang memang selalu ada tentunya diharapkan mampu mengendalikan amarah dalam dirinya. Trus jangan suka menimbun amarah, lebih baik diikhlaskan aja, masalahnya kita hidup bukan untuk marah-marah. Masih banyak hal positif lain yang bisa kita lakukan ketimbang marah-marah.
Emosi menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang, seseorang dengan tingkat pengendalian emosi yang tinggi menunjukkan seberapa kedewasaan seseorang itu terukur. Emosi juga mencerminkan siapa sebenarnya diri kita, dengan melihat kita dengan melihat orang lain yang berakibat munculnya emosi tentunya menjadikan diri kita siapa kita, seberapa kualitas diri kita.
Munculnya reaksi-reaksi sesaat, saling kecam dan bahkan cacian yang muncul bukan mencerminkan siapa-siapa, namun hal itu mencerminkan siapa sebenarnya yang melakukan itu. Diri kita hendaknya menjadi diri yang mengetahui likngkungan kita dengan bersikap yang bijak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan. Kita tidak perlu menjadi provokator atau pengadudomba atau calo yang hanya bisa koar-koar omong kosong, tapi diri kita bukan siapa-siapa.
Mari kita perbaiki diri kita sendiri. Mari kita bantu kaum yang benar-benar tertindas dan teraniaya. Jangan takut dan ragu dengan rintangan yang akan menghadang. Kenyataan dan fakta tentang Israel vs Palestina harus dibeberkan.